SuaraBandungBarat.id – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Ham (Menkopolhukam) Mahfud MD buka suara terkait penundaan pemilu.
Menurut Mahfud MD, penundaan pemilu jika dipaksakan, ini jutsru akan menimbulkan problem hukum.
“Oke pemilu ndak jadi, terus caranya ini gimana dong kalau harus ditunda, diubah UUD,” ucap Mahfud MD dilansir dari ANTARA pada Minggu (19/3/2023).
Lebih lanjut, ia menuturkan penundaan pemilu ini harus mengubah Undang-Undang Dasar yang ternyata memakan biaya yang lebih jauh mahal.
Pasalnya, ketika mengubah UUD ini akan memakan biaya politik, biaya sosial, dan biaya uang juga.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo masa jabatannya akan habis pada tanggal 20 Oktober 2024 mendatang.
Hal itu sesuai dengan konstitusi pada pasal 7 terkait pemilu yang dilangsungkan selama 5 tahun sekali.
“Jadi tanggal 20 Oktober habis, terus karena ada keputusan Mahkamah Agung atau pengadilan ditunda pemilu, ya harus mengubah Undang-Undang Dasar karena MPR dan DPR tidak bisa membuat undang-undang mengubah jadwal pemilu,” tuturnya.
Perlu diketahui juga, bahwa jadwal pemilu ini merupakan muatan konstitusi dan bukan muatan undang-undang.
Baca Juga:Jelang Hadapi Dewa United, David da Silva Berpeluang Samai Rekor 2 Legenda Persib Bandung
Oleh karena itu, penundaan pemilu tidak bisa diubah oleh undang-undang maupun pengadilan, melainkan pembuat konstitusi.
“Jadwal teknis pemilu memang di undang-undang, tapi jadwal definitive periodik adalah muatan konstitusi. Tidak bisa diubah oleh undang-undang maupun oleh pengadilan, harus pembuat konstitusi,” katanya.
Kemudian jika diasumsikan bahwa pembuat konstitusi adalah partai politik yang ada di MPR, hanya mungkin terjadi ketika dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR.
“Nah kalau sekarang mau ada perubahan jadwal pemilu lalu MPR mau bersidang, yuk sidang. PDIP ndak mau hadir, Nasdem ndak mau hadir, ndak mau ditunda, Demokrat tidak mau, maka kourum tidak sampai 2/3 yang hadir di sidang itu,” tutur Mahfud.(*)
Sumber: ANTARA